Rabu, 28 Januari 2009

Pak Jiono :


Eksis di Saat Krisis

Bagi Jiono, perjalanan hidupnya ibarat roda becak yang pernah dikayuhnya atau roda gerobak yang sekarang didorongnya. Kadang di atas kadang di bawah, bahkah sesekali terantuk atau terperosok. Namun roda harus tetap berputar.
Demikianlah Jiono lelaki 58 tahun asal Blitar Jawa Timur ini melakoni perjalanan hidupnya selama berada di Bali. Lepas orang tuanya bercerai, Jiono diajak hijrah ke Bali oleh ibunya.
Di Bali Jiono menjalani perjuangan hidup sebagai lelaki. Tanpa modal pendidikan dan keterampilan atau keahlian yang memadai, Jiono memilih berdagang mainan anak-anak secara berkeliling dari sekolah ke sekolah. Namun terpaksa berhenti karena anak-anak sekolah tak diijinkan membeli di luar.
Dalam kesulitan hidup, Jiono memutuskan menikah, dengan harapan bisa lebih giat bekerja. Namun karena modal tak cukup, Jiono mencoba mengayuh becak. Apa daya fisik tak mampu hingga dua kali jatuh sakit.
Singkat kata, pintu rejeki mulai terbuka. Jiono ditawari oleh tetangganya untuk berjualan bakso dengan sistem sewa gerobak. Mulailah, di tahun 1980-an Jiono merintis jualan bakso. Awalnya berkeliling dari kampung ke kampung. “Saat itu masih sedikit orang jualan bakso. Kebanyakan jual nasi goreng. Jadi hasilnya lumayan. Apalagi kalau pas banyak tamu, bisa laku keras,” kata Jiono.
Jualan bakso bukan hal yang mudah, siang malam hampir tak ada waktu untuk istirahat. Pagi buta belanja, siang memasak, sore hingga malam jualan keliling. Demikian rutinitas yang harus dilakoni Jiono di awal-awal pernikahannya. Toh, Jiono tak pernah mengeluh, dukungan istri tercinta menguatkan semangatnya.
Kesungguhan Jiono berbuah hasil. Jiono bisa membeli gerobak sendiri yang lebih besar dan bagus. Jiono pun memutuskan untuk mencari lokasi yang tepat buat berjualan agar tidak terus berkeliling.
Akhirnya Jiono memutuskan untuk mangkal di kawasan Jalan Diponegoro tepat di depan pertokoan Ramayanan Denpasar. Sejak itulah, dagang bakso Jiono mulai dikenal orang. Pembawaannya yang supel membuat dirinya mempunyai banyak kawan. “Ya, lumayan dengan banyak kawan, berarti banyak langganan juga,” kata Jiono yang hoby berkirim-kirim salam lewat radio ini.
Usaha pun terus membaik. Bahkan, di sela-sela kesibukannya, sang istri turut membantu dengan membuka usaha cuci pakaian. Pelangganya kebanyakan anak-anak mahasiswa. Perkembangannya juga cukup baik, apalagi kala itu belum ada usaha loundry yang sekarang menjamur. 
Toh, ujian bukan tidak ada. Di saat usaha sedang moncer-moncernya, tiba-tiba ia harus pindah tempat, lantaran tempat mangkalnya tiap malam akan dipakai usaha. “Ya terpaksa pindah ke tempat lain meskipun kurang strategis. Memang terlihat ada penurunan hasil. Kalau di tempat lama, bisa sampai laku 60-80 mangkok, sejak pindah untuk 10 mangkok saja susah,” keluh Jiono.
Namun, Jiono tetap sabar. Dirasa jualan bakso tak lagi bagus Jiono beralih jualan soto. “Sekarang saya baru merintis usaha jualan soto, semoga ada perubahan,” ujar Jiono. 
Kenaikan harga BBM juga membuat usaha Jiono sedikit goyah. Jiono pun harus melakukan penghematan di sana-sini. Namun bagi Jiono, dengan kondisi seperti itu ia semakin bersyukur, karena lebih bisa mengatur pengeluaran di samping tidak berlaku boros. (nang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar