Kamis, 01 Januari 2009

Balada Nek Setia


Nasib kaum jompo di Indonesia kadang jauh dari beruntung. Banyak dari mereka terpaksa harus menggantungkan diri dari orang lain, atau bahkan lebih sengsara dari itu. Bukan tanpa sengaja, Ukhuwwah mendatangi seorang nenek yang tinggal di kawasan Jalan Pulau Batam, di sebuah ladang tebu yang tumbuh berjarangan.
Nenek Setia, begitu namanya. Hidup nenek asal Karangasem yang sudah tak ingat lagi berapa umurnya ini seakan mewakili potret kaum jompo. Tinggal sendirian di sebuah gubuk reot. Rumahnya seperti mainan tempel, karena memang ditempeli papan, seng, bahkan kain spanduk. 
Tak ada peralatan rumah tangga yang layak. Untuk memasak, si nenek menggunakan tungku dari batu yang disusun sedemikian rupa di luar rumahnya. Hanya sebuah kasur lusuh tempatnya berbaring. Yang mengenaskan tak ada listrik. Jika malam, mata nenek yang pasti sudah rabun itu hanya mengandalkan lampu minyak, itu pun cuma satu.
Tak banyak yang bisa diceritakan oleh nenek Setia seputar hidupnya. Di samping pendengarannya sudah jauh berkurang, ingatannya pun melemah. “Saya sudah lama tinggal di sini. Tapi kalau umur, saya sudah lupa. Nippong (maksudnya bangsa Jepang) datang saya masih ingat,” katanya 
Hanya saja nenek Setia bercerita kalau sebenarnya dia punya menantu yang biasa mengantar makanan untuk dia. Bisa jadi, sang menantu itulah, yang menjadi gantungan hidup nenek Setia. Tapi apa yang bisa diharapkan dari sang menantu yang hanya buruh panggul di pasar. 
Nenek Setia juga menuturkan, kalau sudah sekian lama dia tidak bisa bekerja seperti biasa lantaran kakinya sakit. Kalau sudah begini praktis nenek Setia tak bisa apa-apa. “Kaki saya lemot, tak bisa bekerja. Ya hanya minta-minta saja. Sering juga menantu mengantar makanan ke sini. Kadang juga saya yang ke sana,” ujarnya.
Rumah nenek benar-benar sempit, untuk shalat pun, nenek Setia mengaku harus menggelar tikar di luar rumah. Tak tahu apakah, tetangganya peduli dengan kondisinya. Namun sang nenek mengaku cukup senang karena diperbolehkan mendirikan “rumah” di atas tanah milik warga setempat. (nang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar