Kamis, 01 Januari 2009

JANGAN BIARKAN SEKOLAH ANAKKU TERHENTI


SAAT yang lain ceria menjelang masa masuk sekolah, tidak demikian Utari (36 tahun). Ibu dari Nurlita Afifah ini hanya bisa menghela nafas sambil menerawang saat putri keduanya yang duduk di bangku kelas 3 SMP itu mengadu kalau dirinya tak mungkin bisa meneruskan sekolah ke SMA seperti cita-citanya.
“Rapor anak saya tidak bisa diambil, karena kami tak bisa membayar tunggakan uang gedung dan SPP sekitar Rp 1 juta lebih,” kata Utari.
Utari masih ingat betul, saat anaknya datang sambil menangis, mengatakan : “Mak, saya malu masuk sekolah, rapor saya tak boleh diambil sebelum uang SPP dan uang gedung dilunasi.”
Utari dan suaminya, Komaruddin, sadar betul sekolah sangat penting untuk masa depan anak-anaknya. Namun beban kehidupan sehari-hari membuyarkan impian indahnya itu. 
Komaruddin yang hanya pengasong koran, jelas tidak akan bisa membiayai sekolah keempat anaknya. Penghasilan suami yang hanya berkisar Rp 15-20 ribu sehari jauh dari ukup untuk keperluan sehari-hari. Sementara Utari sendiri hanya mengandalkan kerja jahitan baju, itu pun kalau ada. 
Biaya sekolah hanya sebagian beban yang harus dipikul keluarga Komaruddin. Dengan penghasilan minim seperti itu, Komaruddin yang tinggal di sebuah kawasan padat di daerah Ubung masih harus dibebani uang kos Rp 50 ribu per bulan plus listrik Rp 15 ribu.
Dengan kondisi seperti itu, yang namanya sarapan pagi sebelum berangkat kerja menjadi barang langka bagi Komaruddin. “Bapak jarang bisa sarapan pagi. Kalau pulang dapat uang ya..dipentingkan untuk makannya anak-anak,” kata Utari. Tak jarang untuk makan saja, mereka harus berutang. Beruntung untuk beras tiap bulan masih dapat subsidi beras murah dari kantor desa setempat, Rp 24 ribu untuk 15 Kg beras.
Kesulitan ekonomi pula yang harus membuat Komaruddin sekeluarga harus tinggal dan tidur berhimpitan dengan keempat anaknya—satu diantaranya masih Balita-- di kamar kos berukuran 2,5 x 3 meter persegi. Berdinding papan, jauh dari standar kelayakan hidup sehat. Tak ada ventilasi dan kamar mandi. Untuk mandi mereka harus ke sungai. 
Dulu, Komaruddin yang asli Kecicang Karangasem ini, sempat berjualan sate, namun berhenti karena gerobaknya rusak dimakan cuaca dan tak ada uang untuk membeli yang baru. Untuk bertahan hidup, Komaruddin kini berjualan koran yang dilakoninya tiap hari, dari selepas shubuh sampai menjelang siang. 
Komaruddin dan Utari tak punya keinginan muluk-muluk, ia hanya ingin Nurlita, anaknya, bisa lulus SMA biar bisa bekerja meringankan keluarganya. (nang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar